Friday, December 10, 2004

Sinema dan Budaya

Kita tahu bahwa saat ini industri sinema di negeri kita tengah bangkit setelah sebelumnya terpuruk. Banyak film baru yang diproduksi dan dibuat dengan berbagai tema yang berbeda. Kita tidak ingin mengharamkan sinema. Yang menjadi masalah adalah bila sinemator kita mengangkat sisi buruk kehidupan bangsa yang sebenarnya ingin kita sembuhkan dan perbaiki. Yang kita inginkan adalah sebagai satu bangsa, kita mengupayakan suatu perbaikan budaya, dan bukan malah merusaknya, melalui sinema itu tadi. Ini sama sekali bukan pembatasan kreatifitas. Tapi ini adalah sebuah sarana kerjasama membangun budaya bangsa.

Ada karya yang terpuji, dan ada karya yang patut dicela. Relativitas cara penyikapan dan relativitas penilaian terhadap mutu suatu film adalah suatu hal yang pasti. Yang menjadi masalah adalah bila masyarakat terlalu permisif, apatis dan naif, hingga membiarkan satu karya buruk yang bisa merusak budaya, tersebar begitu saja dan ‘menjahati’ banyak warga masyarakat.

Seperti kita tahu, kebanyakan unsur ‘hiburan’ dalam dunia kapitalis ini terdiri dari gado-gado unsur berbagai kejahatan budaya. Ada kekerasan, kriminalitas, pornografi dan pornoaksi, penampilan glamour, dan lain-lain kejahatan terhadap nilai diri dan nilai sosial dalam satu masyarakat.

Mengapa dikatakan demikian? Semua yang menonton produksi sinema adalah manusia. Kita tahu bahwa apa yang kita lihat, tonton, dan dengar, sangat mempengaruhi diri kita. Dan kita tahu bahwa setiap kali berbagai input kognisi masuk dalam kepala seorang manusia, hal itu akan berpengaruh pada diri mereka.

Semua yang mereka tonton dan saksikan itu berhubungan dengan hal seperti gaya hidup, cara berperilaku, cara orang menilai suatu perbuatan. Banyak dari mereka yang saat menonton, akan melihat ke dalam diri mereka, untuk kemudian melakukan penilaian diri. Bila ada dari penilaian diri akibat atribusi yang terbentuk secara sosial melalui sinema yang mereka saksikan itu, bernilai negatif, maka akan secara langsung, hal ini mempengaruhi diri mereka.

Alasan mengapa sinema memberikan pengaruh yang cukup membekas adalah juga disebabkan oleh adanya banyak publikasi dan eksploitasi berita terhadap sinema dan hiburan. Pergeseran antara ‘penting’ dan ‘tidak penting’ kemudian makin nyata. Masyarakat, menjadikan ‘tontonan’ sebagai ‘tuntunan’.

Hal ini seharusnya membuat insan sinema sadar akan tanggungjawabnya. Dan sadar bahwa dengan film-film yag dibuatnya, ia bisa mempengaruhi budaya dan watak suatu bangsa. Atau bahkan, seluruh dunia bila film tersebut laju mengglobal. Bahwa seperti keputusan seorang politisi yang bisa mempengaruhi laju satu negeri, tindakan seorang sinemator juga akan mempengaruhi laju budaya satu bangsa.

Pergeseran nilai budaya akan baik, bila berjalan ke arah yang baik. Tapi, bagaimana bila pergeseran budaya ini, justru mengarahkan bangsa kita pada kehancuran moral? Pada kehancuran nilai diri dan kehancuran nilai sosial yang tinggi? Kita tidak ingin melihat kehancuran semacam ini, hanya karena satu dua karya sinema tidak layak sebar, yang membekas dan melukai nilai diri dan nilai budaya masyarakat kita ini. Kita ingin masyarakat kita tetap dalam personal state of being yang nyaman, yang memungkinkan setiap potensi yang ada dalam diri mereka untuk berkembang, dan bukan malah merepresi potensi tersebut atau mengarahkannya pada ketergelinciran menyeluruh.

Sejumlah insan sinema yang masih baik, memproduksi banyak tayangan sinema yang menarik, yang memiliki nilai edukasi yang tinggi. Berbeda dengan sejumlah rekan mereka, yang melakukan hal sebaliknya. Sejumlah insan sinema ini malah memotret besar-besar kesalahan dan ketergelinciran perilaku yang hanya terjadi pada segelintir orang di Indonesia ini, menjadi sangat besar, menjadi suatu pusat perhatian.

Bahaya dari pengabadian ‘kesalahan perilaku’ segelintir orang di dalam masyarakat kita ini adalah pada resiko peniruan yang bisa timbul. Dan kita tidak bisa secara naif mengatakan bahwa resiko semacam ini tidak ada. Justru resiko semacam ini sangat besar.

Dan resiko inilah yang menjadi alasan mengapa kita sangat keberatan dengan film yang mengajak masyarakat, yang berbau provokasi seksual, seperti film "Buruan Cium Gue", dan "Virgin". Film yang disebut pertama, sudah ditarik dari peredaran. Film yang menunggu ditarik berikutnya adalah yang kedua. Karena sudah banyak di kota-kota besar di Indonesia pelarangannya.

Permasalahannya adalah, apa yang menjadi Fokus kerja Lembaga Sensor Film? mengapa film yang jelas-jelas memuat provokasi seksual semacam itu, bisa lolos dari sensor?

0 Comments:

Post a Comment

<< Home