Friday, December 10, 2004

Culture Crime in Progress!!

“Cara kita melihat masalah, seringkali menjadi masalah”
(anonim).

Para sinemator berkilah bahwa mereka memiliki alasan sosial di balik eksploitasi perilaku seksual yang mereka gambarkan di film-film mereka. mereka berkilah dengan berbagai dalil bahwa mereka mencoba memberikan pada masyarakat “realita” hidup agar mereka tersadar. Mereka lupa bahwa sebagian besar masyarakat tidak “secerdas itu”. sebagian besar penonton terdiri dari kaum muda dan kaum yang “tidak tahu” yang penasaran dengan apa yang akan mereka saksikan. Justru kalangan yang mereka sasar sebagai target “pemberitahuan informasi realitas sosial” itu memilih untuk tidak datang ke bioskop, karena tahu bahwa mereka “tidak akan mendapat hal yang penting” dari apa yang disajikan itu. bahkan, tidak terhibur sama sekali. Dan justru sangat terganggu dengan film-film yang sedemikan vulgar, provokatif dan merusak.
Dan mereka yang datang menonton justru adalah mereka yang memiliki dorongan ingin tahu dan coba-coba yang sangat tinggi. Hingga bisa ditebak setelah menyaksikan hal sedemikian, yang akan terjadi adalah mereka mencoba untuk “mempraktekan” atau meniru apa yang mereka baru saja saksikan.
Cara kita melihat masalah, seringkali menjadi masalah, terutama apabila fakta diputarbalikkan dengan begitu sungguh-sungguh.
Sekarang, siapa yang naif?

Menindak Pornografi dan Pornoaksi sebagai Kejahatan Budaya

Mungkin selama ini kita belum pernah mendengar tentang kejahatan budaya (culture crime). Namun tanpa kita sadari, hal tersebut ada dan terjadi di sekeliling kita. Sebelum membahas, kita definisikan bersama bahwa Kejahatan Budaya merupakan pola perusakan dari satu tatanan yang sebelumnya tertib, yang dilakukan dengan melakukan berbagai pelanggaran hak, menggunakan berbagai sarana yang tidak legitimate, dan menggunakan berbagai cara yang lebih banyak mendatangkan keburukan dibanding kebaikan, dengan untuk tujuan mengambil keuntungan bagi pelakunya.

Kejahatan budaya menimbulkan pergesaran norma dan nilai sosial dan psikologis di masyarakat. Sejumlah batasan perilaku menjadi bergeser, nilai-nilai luhur terpinggirkan, dan kerusakan perilaku menjadi satu gejala sosial. Kemudian, kejahatan budaya yang dijadikan contoh di masyarakat itu menerpa dan membanjir menjadi satu trend, atau yang lebih gawatnya lagi, menjadi satu perilaku menetap yang oleh masyarakat diambil sebagai bagian dari perilaku keseharian mereka.

Contoh yang paling nyata adalah dari goyang dangdut. Sekarang ini, para pedangdut berlomba-lomba untuk menciptakan berbagai gaya goyang mutakhir dengan tanpa mengedepankan rasa malu, dan tanpa rasa peduli bahwa apa yang mereka lakukan kemudian ditiru oleh anak-anak dan remaja yang belum bisa mencerna hal itu sebagai hanya satu bagian dari hiburan sejenak. Dan sejumlah orang dewasa, baik yang berpendidikan rendah maupun tinggi, menggunakan hal itu sebagai pemuas nafsu tanpa memikirkan akibat dari pemuasan nafsu sesaat itu.

Budaya adiluhung bangsa kita mengedepankan nilai moral dan perilaku yang tinggi, menjunjung adat ketimuran yang luhur, yang mengedepankan rasa malu, mengutamakan perilaku beradab, ketertiban dan kepatuhan terhadap nilai sosial dan adat istiadat yang ada di masyarakat. Namun intrusi dari budaya luar, menjadikan pola perilaku merusak tersebut sebagai bagian dari adopsi budaya yang ditelan bulat-bulat. Hal ini mengakibatkan kerusakan pada pola perilaku tertib dan berbudaya tinggi yang sebelumnya ada pada bangsa kita. Bahkan, nilai luhur tidak lagi bisa kita temui dengan mudah. Kesantunan dan penghormatan antar sesama manusia menjadi sesuatu yang langka.

Kita tahu bahwa pornografi dan nudisme banyak diadaptasi dari budaya yunani dan kristen modern seperti yang diabadikan michaelangelo dalam karya-karyanya di gereja Roma. Ia yang mempelajari anatomi tubuh manusia, akan menjadikan karyanya berharga dalam bidang kedokteran dan anatomi. Tapi bahkan pada zamannya sendiri, ia banyak dikritik dan mendapatkan protes yang besar dari masyarakat berbudaya pada zaman itu. Mungkinkah kenakalan dan absudritas ekspresi Michaelangelo merupakan hasil dari represi berat akibat kehidupan kerahiban yang dilakukannya? Pada kasus ini, hal ini tak kan dibahas.

Yang kemudian jadi persoalan adalah, karya-karyanya kemudian dijadikan acuan ekspresi seni dan keindahan. Hingga mengaburkan semua batasan antara pornografi dan seni. Bila seni ia menjadi adiluhung, dan bila pornografi ia menjadi menjijikkan. Padahal, esensinya tetap sama, yaitu eksploitasi fisik dari manusia secara keterlaluan. Apa yang ada dalam karya-karya michaelangelo mengedepankan fenomena surga dan neraka, serta kematian. Yang dalam hal tersebut, di surga dan neraka dan dalam alam kematian atau kelahiran, manusia hadir memang tanpa mengenakan atribut fisik.

Namun sayangnya seniman sekarang tidak cukup cerdas untuk menjamah maksud michaelangelo dengan karya-karyanya sebagai peringatan bagi manusia untuk menjauhi kehidupan nuditas sedemikian, karena itu merupakan representasi kehidupan terlarang bagi manusia. Dan seharusnya para seniman bisa memahami itu sebagai satu bagian dari nasihat besar untuk umat manusia menjauhi hal yang sedemikian, dan bukan kemudian menirunya, melakukan hal yang serupa, atau lebih parah dari itu. Bahkan seniman harus melihat itu dari kacamata michaelangelo yang melakukan kehidupan kerahiban. Bahwa ia tidak pernah melakukan hal seperti yang ia lukiskan dan ukirkan itu.

Apa yang dilakukan michaelangelo adalah sebagai peringatan bagi manusia untuk tidak menjadikan nuditas atau kepornoan sebagai bagian dari hidup. Dan bahwa semua itu hanya akan mendatangkan kerusakan.

Sayangnya, mereka yang mengaku seniman saat ini, tidak melihat ke arah sana. Mereka seenaknya mengeksploitasi fisik manusia sevulgar-vulgarnya, seberani-beraninya hingga tanpa batasan. Yang menjauhkan manusia dari kebaikan yang diberikan dalam tuntunan agama. Walaupun batasan aurat kita temui dalam kehidupan umat Islam saja, yang memberikan tuntunan yang selamat untuk kaumnya agar tidak jatuh dalam perilaku sedemikian. Namun bukan berarti umat yang lain pun tidak memiliki tuntunan serupa itu. Dan karena itu kita harus membimbing bersama seluruh masyarakat dari lapisan umat manapun, karena secara bersama-sama manusia diciptakan untuk menjadi kebaikan bagi bumi dan seisinya. Memakmurkan dan menjaganya.

Apabila keterbukaan fisik itu kita lihat di dalam ruang mayat, untuk menunjukkan organ tubuh manusia secara rinci, tentu kita tidak berkeberatan. Namun yang menjadi masalah adalah, fisik manusia hidup yang dieksplotasi secara visual untuk dijadikan hiburan bagi orang banyak. Kita kemudian bertanya; “Apa maksud mereka dengan semua itu?” Apa yang bisa diperoleh manusia dari melihat bagian tubuh manusia lainnya secara terbuka? Adakah yang bisa menjawab?
Sensasi visual yang didapatkan dari melihat bagian fisik biasanya muncul dari asosiasi antara input visual tersebut dengan ingatan atau memori yang tersimpan dalam pikiran manusia. Oleh psikolog, hal seperti melihat bagian tubuh ibu dikaitkan dengan sensasi hapusnya rasa haus dengan meminum air susu, atau pada kehangatan pelukan ibu. Yang ini berarti, sensasi visual itu pasti dialami oleh semua manusia yang pasti mamalia.
Karena itu, sekecil atau setua apapun manusia, pasti mengalami sensasi visual seperti itu. Walau derajat dan efeknya berbeda-beda.

Yang menjadi masalah besar adalah, imput visual fisik tersebut menimbulkan aktifnya hormon tertentu pada manusia yang menyebabkan reaksi organ fisik manusia. Pada manusia dewasa atau yang menjelang dewasa, hal ini menjadi bertambah gawat karena sekresi hormonnya menguat dan membutuhkan pemenuhan. Untungnya, manusia dewasa memiliki otak dengan memori dan pengalaman yang terdiri dari berbagai tata aturan yang mencegah mereka untuk berbuat hal yang merugikan diri mereka sendiri.

Namun pada anak-anak dan remaja, reaksi organ fisik karena input visual fisik tersebut belum dapat mereka cerna dengan baik. Akibatnya, terjadi berbagai perilaku coba-coba yang membahayakan. Sejumlah informasi di lapangan menyebutkan bahwa banyak anak putri sekarang telah mengalami menstruasi sejak umur 8-9 tahun, dan kanak-kanak putranya, berkat shinchan dan sailormoon telah mengetahui tentang hubungan seksual sejak kelas 1-2 SD sejak mereka mulai bisa membaca atau menyimak kartun di televisi.

Bayangkan kerusakan yang akan terjadi pada bangsa ini dengan tingkat penyebaran pornografi dan pornoaksi yang demikian deras, dengan kenyataan lapangan sedemikian. Kita sungguh takut akan bahaya AIDS dan pergaulan bebas, beserta narkoba dan kriminalitas yang datang dalam satu paket.

Kita harus sangat berhati-hati dalam melukiskan berbagai fenomena yang menggejala di masyarakat ini. Kita tidak ingin mereka dengan mudahnya meniru berbagai tindakan yang seharusnya “hanya dilakukan orang dewasa” tersebut, hanya karena sejak kecil mereka telah “tahu bagaimana” melakukannya. Bila satu dari lima anak sudah tahu tentang sex. Ia akan menyebarkannya pada empat yang lainnya. Dan bila dalam populasi satu dari seratus itu ada anak yang tidak dididik dengan baik, dan terdorong untuk coba-coba. Bayangkan berapa 1 : 100 dari seluruh anak di seluruh Indonesia? Bayangkan berapa juta jumlah anak (apalagi remaja) yang rusak karena pornografi dan pornoaksi ini?

Dan kita tidak hanya bicara tentang kerusakan perilaku yang hingga harus dipenjara, tapi juga kita bicara tentang pelecehan yang bisa dilakukan anak pria terhadap teman anak wanitanya. Dan ini membuat, anak manapun akhirnya bisa menjadi sasaran, bila kita tidak melakukan pendidikan dan pencegahan untuk itu.

Mengapa hal ini sangat penting? Karena setiap waktu dalam hidup seorang anak manusia adalah tumpuan bekal untuk seumur hidupnya, hingga bila bekal tersebut cemar, maka akan bisa tak bersih pula ia di kehidupan selanjutnya kelak.

Siapa yang harus disalahkan untuk kerusakan budaya ini?
Saya ingin dengan terang-terangan menuding pihak penyebar pornografi dan pornoaksi sebagai keran perusak budaya dan biang kejahatan budaya ini. Dan ingin meminta publik dan pemerintah secara terbuka menyatakan para pelaku penyebar pornografi maupun semi pornografi, sebagai pelaku kejahatan budaya. Dan para pelaku pornoaksi sebagai ikon perusak budaya.

Kita ingin nama Indonesia harum sebagai negara berbudaya tinggi, dengan anak-anak yang cemerlang dan cerdas prestasinya. Dan bukan sebagai negara dengan rangking pornografi tertinggi kedua di dunia setelah Swedia.

Negara kita adalah sasaran empuk bagi peredaran konsumsi apapun, karena populasinya yang banyak dan sistem pengendalian hukumnya yang lemah. Dan ini menjadikan para pelaku bisnis hiburan dan media perusak menempatkan indonesia sebagai target yang tidak main-main. Kita tahu telah banyak pelaku bisnis media dan hiburan asing yang menempatkan investasinya di Indonesia. Namun sayangnya, mereka jarang menghormati budaya kita dan justru banyak memberikan budaya mereka secara bulat terbuka bagi seluruh masyarakat kita untuk dikonsumsi. Bahkan para pelaku pornografi lokal pun makin menjamur. Akibatnya, media porno maupun hiburan porno itu banyak ditemui dengan mudah dan murah.

Penulis ingat sekali dengan teman sekelas yang bersama teman satu gengnya menunjukkan majalah, foto dan kartu-kartu porno mereka yang dibawa ke dalam kelas. Padahal itu terjadi di sekolah unggulan. Bagaimana dengan di sekolah lain yang sistem kendali siswanya lebih lemah ? dan itu saja sudah cukup membuat penulis dan teman-teman ketakutan akan perilaku mereka yang melihat-lihat gambar porno itu selama jam belajar. Lalu apa yang mereka lakukan selepas pulang sekolah? Sungguh sangat tidak terbayangkan.

Dan hal itu telah menjadi fenomena yang jamak di remaja kita. Di anak-anak sekolah dasar kita. Bayangkan kekagetan siswa, guru, dan tim redaksi buku tahunan sekolah yang menemukan kata-kata “use the rubber” dituliskan tanpa malu-malu dan ditulis terbuka didepan teman-teman sendiri? Lalu apa yang telah mereka lakukan bahkan sebelum mereka lulus sekolah menengah? Kita harus berhenti menjadi naif dan menyadari bahwa perilaku demikian terjadi pada orang-orang di sekeliling yang tanpa disadari lagi.

Lalu bagaimana dengan orangtua mereka? atau kita menyalahkan para guru sekolah kah? Atau pada guru ngaji kah? Atau polisi kah? Atau politisi kah? Jangan salahkan guru, orang tua, polisi, atau guru ngaji. Mereka selalu mengharapkan kebaikan, mengusahakan pendidikan dan memberikan bimbingan dengan tulus. Bukan mereka yang bersalah atas apa yang terjadi pada remaja kita.

Yang bersalah adalah penerbit media porno atau semi porno, penulis porno dan semi porno, sinemator porno dan semi porno, serta para pelaku pornografi dan pornoaksi tersebut. Merekalah penjahat besarnya. Merekalah yang harus ditindak secara terbuka. Setajam silet. Dan menerima hukuman seberat-beratnya. Dan mereka harus diumumkan sebagai pelaku kejahatan budaya.

Lebih lanjut dari itu, demi menjaga agar budaya kita tidak semakin rusak. Kita harus mengutuk dan menghina pornografi sebagai perilaku sangat rendah. Dan bukan cenderung membiarkannya secara permisif seperti sekarang. Kita mulai dari diri kita sendiri, dan kita mulai dengan menjaga lingkungan kita. Kita juga menyerukan agar aparat dalam sistem kendali dan penegakan hukum memberikan sanksi secara tegas dan terbuka kepada para pelaku pornografi dan pornoaksi tersebut.



0 Comments:

Post a Comment

<< Home