Friday, December 10, 2004

Culture Crime in Progress!!

“Cara kita melihat masalah, seringkali menjadi masalah”
(anonim).

Para sinemator berkilah bahwa mereka memiliki alasan sosial di balik eksploitasi perilaku seksual yang mereka gambarkan di film-film mereka. mereka berkilah dengan berbagai dalil bahwa mereka mencoba memberikan pada masyarakat “realita” hidup agar mereka tersadar. Mereka lupa bahwa sebagian besar masyarakat tidak “secerdas itu”. sebagian besar penonton terdiri dari kaum muda dan kaum yang “tidak tahu” yang penasaran dengan apa yang akan mereka saksikan. Justru kalangan yang mereka sasar sebagai target “pemberitahuan informasi realitas sosial” itu memilih untuk tidak datang ke bioskop, karena tahu bahwa mereka “tidak akan mendapat hal yang penting” dari apa yang disajikan itu. bahkan, tidak terhibur sama sekali. Dan justru sangat terganggu dengan film-film yang sedemikan vulgar, provokatif dan merusak.
Dan mereka yang datang menonton justru adalah mereka yang memiliki dorongan ingin tahu dan coba-coba yang sangat tinggi. Hingga bisa ditebak setelah menyaksikan hal sedemikian, yang akan terjadi adalah mereka mencoba untuk “mempraktekan” atau meniru apa yang mereka baru saja saksikan.
Cara kita melihat masalah, seringkali menjadi masalah, terutama apabila fakta diputarbalikkan dengan begitu sungguh-sungguh.
Sekarang, siapa yang naif?

Menindak Pornografi dan Pornoaksi sebagai Kejahatan Budaya

Mungkin selama ini kita belum pernah mendengar tentang kejahatan budaya (culture crime). Namun tanpa kita sadari, hal tersebut ada dan terjadi di sekeliling kita. Sebelum membahas, kita definisikan bersama bahwa Kejahatan Budaya merupakan pola perusakan dari satu tatanan yang sebelumnya tertib, yang dilakukan dengan melakukan berbagai pelanggaran hak, menggunakan berbagai sarana yang tidak legitimate, dan menggunakan berbagai cara yang lebih banyak mendatangkan keburukan dibanding kebaikan, dengan untuk tujuan mengambil keuntungan bagi pelakunya.

Kejahatan budaya menimbulkan pergesaran norma dan nilai sosial dan psikologis di masyarakat. Sejumlah batasan perilaku menjadi bergeser, nilai-nilai luhur terpinggirkan, dan kerusakan perilaku menjadi satu gejala sosial. Kemudian, kejahatan budaya yang dijadikan contoh di masyarakat itu menerpa dan membanjir menjadi satu trend, atau yang lebih gawatnya lagi, menjadi satu perilaku menetap yang oleh masyarakat diambil sebagai bagian dari perilaku keseharian mereka.

Contoh yang paling nyata adalah dari goyang dangdut. Sekarang ini, para pedangdut berlomba-lomba untuk menciptakan berbagai gaya goyang mutakhir dengan tanpa mengedepankan rasa malu, dan tanpa rasa peduli bahwa apa yang mereka lakukan kemudian ditiru oleh anak-anak dan remaja yang belum bisa mencerna hal itu sebagai hanya satu bagian dari hiburan sejenak. Dan sejumlah orang dewasa, baik yang berpendidikan rendah maupun tinggi, menggunakan hal itu sebagai pemuas nafsu tanpa memikirkan akibat dari pemuasan nafsu sesaat itu.

Budaya adiluhung bangsa kita mengedepankan nilai moral dan perilaku yang tinggi, menjunjung adat ketimuran yang luhur, yang mengedepankan rasa malu, mengutamakan perilaku beradab, ketertiban dan kepatuhan terhadap nilai sosial dan adat istiadat yang ada di masyarakat. Namun intrusi dari budaya luar, menjadikan pola perilaku merusak tersebut sebagai bagian dari adopsi budaya yang ditelan bulat-bulat. Hal ini mengakibatkan kerusakan pada pola perilaku tertib dan berbudaya tinggi yang sebelumnya ada pada bangsa kita. Bahkan, nilai luhur tidak lagi bisa kita temui dengan mudah. Kesantunan dan penghormatan antar sesama manusia menjadi sesuatu yang langka.

Kita tahu bahwa pornografi dan nudisme banyak diadaptasi dari budaya yunani dan kristen modern seperti yang diabadikan michaelangelo dalam karya-karyanya di gereja Roma. Ia yang mempelajari anatomi tubuh manusia, akan menjadikan karyanya berharga dalam bidang kedokteran dan anatomi. Tapi bahkan pada zamannya sendiri, ia banyak dikritik dan mendapatkan protes yang besar dari masyarakat berbudaya pada zaman itu. Mungkinkah kenakalan dan absudritas ekspresi Michaelangelo merupakan hasil dari represi berat akibat kehidupan kerahiban yang dilakukannya? Pada kasus ini, hal ini tak kan dibahas.

Yang kemudian jadi persoalan adalah, karya-karyanya kemudian dijadikan acuan ekspresi seni dan keindahan. Hingga mengaburkan semua batasan antara pornografi dan seni. Bila seni ia menjadi adiluhung, dan bila pornografi ia menjadi menjijikkan. Padahal, esensinya tetap sama, yaitu eksploitasi fisik dari manusia secara keterlaluan. Apa yang ada dalam karya-karya michaelangelo mengedepankan fenomena surga dan neraka, serta kematian. Yang dalam hal tersebut, di surga dan neraka dan dalam alam kematian atau kelahiran, manusia hadir memang tanpa mengenakan atribut fisik.

Namun sayangnya seniman sekarang tidak cukup cerdas untuk menjamah maksud michaelangelo dengan karya-karyanya sebagai peringatan bagi manusia untuk menjauhi kehidupan nuditas sedemikian, karena itu merupakan representasi kehidupan terlarang bagi manusia. Dan seharusnya para seniman bisa memahami itu sebagai satu bagian dari nasihat besar untuk umat manusia menjauhi hal yang sedemikian, dan bukan kemudian menirunya, melakukan hal yang serupa, atau lebih parah dari itu. Bahkan seniman harus melihat itu dari kacamata michaelangelo yang melakukan kehidupan kerahiban. Bahwa ia tidak pernah melakukan hal seperti yang ia lukiskan dan ukirkan itu.

Apa yang dilakukan michaelangelo adalah sebagai peringatan bagi manusia untuk tidak menjadikan nuditas atau kepornoan sebagai bagian dari hidup. Dan bahwa semua itu hanya akan mendatangkan kerusakan.

Sayangnya, mereka yang mengaku seniman saat ini, tidak melihat ke arah sana. Mereka seenaknya mengeksploitasi fisik manusia sevulgar-vulgarnya, seberani-beraninya hingga tanpa batasan. Yang menjauhkan manusia dari kebaikan yang diberikan dalam tuntunan agama. Walaupun batasan aurat kita temui dalam kehidupan umat Islam saja, yang memberikan tuntunan yang selamat untuk kaumnya agar tidak jatuh dalam perilaku sedemikian. Namun bukan berarti umat yang lain pun tidak memiliki tuntunan serupa itu. Dan karena itu kita harus membimbing bersama seluruh masyarakat dari lapisan umat manapun, karena secara bersama-sama manusia diciptakan untuk menjadi kebaikan bagi bumi dan seisinya. Memakmurkan dan menjaganya.

Apabila keterbukaan fisik itu kita lihat di dalam ruang mayat, untuk menunjukkan organ tubuh manusia secara rinci, tentu kita tidak berkeberatan. Namun yang menjadi masalah adalah, fisik manusia hidup yang dieksplotasi secara visual untuk dijadikan hiburan bagi orang banyak. Kita kemudian bertanya; “Apa maksud mereka dengan semua itu?” Apa yang bisa diperoleh manusia dari melihat bagian tubuh manusia lainnya secara terbuka? Adakah yang bisa menjawab?
Sensasi visual yang didapatkan dari melihat bagian fisik biasanya muncul dari asosiasi antara input visual tersebut dengan ingatan atau memori yang tersimpan dalam pikiran manusia. Oleh psikolog, hal seperti melihat bagian tubuh ibu dikaitkan dengan sensasi hapusnya rasa haus dengan meminum air susu, atau pada kehangatan pelukan ibu. Yang ini berarti, sensasi visual itu pasti dialami oleh semua manusia yang pasti mamalia.
Karena itu, sekecil atau setua apapun manusia, pasti mengalami sensasi visual seperti itu. Walau derajat dan efeknya berbeda-beda.

Yang menjadi masalah besar adalah, imput visual fisik tersebut menimbulkan aktifnya hormon tertentu pada manusia yang menyebabkan reaksi organ fisik manusia. Pada manusia dewasa atau yang menjelang dewasa, hal ini menjadi bertambah gawat karena sekresi hormonnya menguat dan membutuhkan pemenuhan. Untungnya, manusia dewasa memiliki otak dengan memori dan pengalaman yang terdiri dari berbagai tata aturan yang mencegah mereka untuk berbuat hal yang merugikan diri mereka sendiri.

Namun pada anak-anak dan remaja, reaksi organ fisik karena input visual fisik tersebut belum dapat mereka cerna dengan baik. Akibatnya, terjadi berbagai perilaku coba-coba yang membahayakan. Sejumlah informasi di lapangan menyebutkan bahwa banyak anak putri sekarang telah mengalami menstruasi sejak umur 8-9 tahun, dan kanak-kanak putranya, berkat shinchan dan sailormoon telah mengetahui tentang hubungan seksual sejak kelas 1-2 SD sejak mereka mulai bisa membaca atau menyimak kartun di televisi.

Bayangkan kerusakan yang akan terjadi pada bangsa ini dengan tingkat penyebaran pornografi dan pornoaksi yang demikian deras, dengan kenyataan lapangan sedemikian. Kita sungguh takut akan bahaya AIDS dan pergaulan bebas, beserta narkoba dan kriminalitas yang datang dalam satu paket.

Kita harus sangat berhati-hati dalam melukiskan berbagai fenomena yang menggejala di masyarakat ini. Kita tidak ingin mereka dengan mudahnya meniru berbagai tindakan yang seharusnya “hanya dilakukan orang dewasa” tersebut, hanya karena sejak kecil mereka telah “tahu bagaimana” melakukannya. Bila satu dari lima anak sudah tahu tentang sex. Ia akan menyebarkannya pada empat yang lainnya. Dan bila dalam populasi satu dari seratus itu ada anak yang tidak dididik dengan baik, dan terdorong untuk coba-coba. Bayangkan berapa 1 : 100 dari seluruh anak di seluruh Indonesia? Bayangkan berapa juta jumlah anak (apalagi remaja) yang rusak karena pornografi dan pornoaksi ini?

Dan kita tidak hanya bicara tentang kerusakan perilaku yang hingga harus dipenjara, tapi juga kita bicara tentang pelecehan yang bisa dilakukan anak pria terhadap teman anak wanitanya. Dan ini membuat, anak manapun akhirnya bisa menjadi sasaran, bila kita tidak melakukan pendidikan dan pencegahan untuk itu.

Mengapa hal ini sangat penting? Karena setiap waktu dalam hidup seorang anak manusia adalah tumpuan bekal untuk seumur hidupnya, hingga bila bekal tersebut cemar, maka akan bisa tak bersih pula ia di kehidupan selanjutnya kelak.

Siapa yang harus disalahkan untuk kerusakan budaya ini?
Saya ingin dengan terang-terangan menuding pihak penyebar pornografi dan pornoaksi sebagai keran perusak budaya dan biang kejahatan budaya ini. Dan ingin meminta publik dan pemerintah secara terbuka menyatakan para pelaku penyebar pornografi maupun semi pornografi, sebagai pelaku kejahatan budaya. Dan para pelaku pornoaksi sebagai ikon perusak budaya.

Kita ingin nama Indonesia harum sebagai negara berbudaya tinggi, dengan anak-anak yang cemerlang dan cerdas prestasinya. Dan bukan sebagai negara dengan rangking pornografi tertinggi kedua di dunia setelah Swedia.

Negara kita adalah sasaran empuk bagi peredaran konsumsi apapun, karena populasinya yang banyak dan sistem pengendalian hukumnya yang lemah. Dan ini menjadikan para pelaku bisnis hiburan dan media perusak menempatkan indonesia sebagai target yang tidak main-main. Kita tahu telah banyak pelaku bisnis media dan hiburan asing yang menempatkan investasinya di Indonesia. Namun sayangnya, mereka jarang menghormati budaya kita dan justru banyak memberikan budaya mereka secara bulat terbuka bagi seluruh masyarakat kita untuk dikonsumsi. Bahkan para pelaku pornografi lokal pun makin menjamur. Akibatnya, media porno maupun hiburan porno itu banyak ditemui dengan mudah dan murah.

Penulis ingat sekali dengan teman sekelas yang bersama teman satu gengnya menunjukkan majalah, foto dan kartu-kartu porno mereka yang dibawa ke dalam kelas. Padahal itu terjadi di sekolah unggulan. Bagaimana dengan di sekolah lain yang sistem kendali siswanya lebih lemah ? dan itu saja sudah cukup membuat penulis dan teman-teman ketakutan akan perilaku mereka yang melihat-lihat gambar porno itu selama jam belajar. Lalu apa yang mereka lakukan selepas pulang sekolah? Sungguh sangat tidak terbayangkan.

Dan hal itu telah menjadi fenomena yang jamak di remaja kita. Di anak-anak sekolah dasar kita. Bayangkan kekagetan siswa, guru, dan tim redaksi buku tahunan sekolah yang menemukan kata-kata “use the rubber” dituliskan tanpa malu-malu dan ditulis terbuka didepan teman-teman sendiri? Lalu apa yang telah mereka lakukan bahkan sebelum mereka lulus sekolah menengah? Kita harus berhenti menjadi naif dan menyadari bahwa perilaku demikian terjadi pada orang-orang di sekeliling yang tanpa disadari lagi.

Lalu bagaimana dengan orangtua mereka? atau kita menyalahkan para guru sekolah kah? Atau pada guru ngaji kah? Atau polisi kah? Atau politisi kah? Jangan salahkan guru, orang tua, polisi, atau guru ngaji. Mereka selalu mengharapkan kebaikan, mengusahakan pendidikan dan memberikan bimbingan dengan tulus. Bukan mereka yang bersalah atas apa yang terjadi pada remaja kita.

Yang bersalah adalah penerbit media porno atau semi porno, penulis porno dan semi porno, sinemator porno dan semi porno, serta para pelaku pornografi dan pornoaksi tersebut. Merekalah penjahat besarnya. Merekalah yang harus ditindak secara terbuka. Setajam silet. Dan menerima hukuman seberat-beratnya. Dan mereka harus diumumkan sebagai pelaku kejahatan budaya.

Lebih lanjut dari itu, demi menjaga agar budaya kita tidak semakin rusak. Kita harus mengutuk dan menghina pornografi sebagai perilaku sangat rendah. Dan bukan cenderung membiarkannya secara permisif seperti sekarang. Kita mulai dari diri kita sendiri, dan kita mulai dengan menjaga lingkungan kita. Kita juga menyerukan agar aparat dalam sistem kendali dan penegakan hukum memberikan sanksi secara tegas dan terbuka kepada para pelaku pornografi dan pornoaksi tersebut.



Sinemator busuk = Politisi busuk

Bukan hanya politisi busuk yang bisa menghancurkan negara. Sinemator busuk pun bisa merusak bangsa. Seperti yang waktu itu mengemuka dalam sebuah seminar; “tidak perlu satu politisi busuk untuk menghancurkan negara, hanya perlu satu stasiun televisi buruk dan satu rumah produksi busuk yang produknya terus dibeli”.

Para sinemator busuk terus menerus mengabadikan perilaku menyimpang dan kotor, yang patut mendapatkan hukuman penjara berat, sebagai sesuatu yang dihidangkan pada anak dan remaja di jam tayang prime time.

Mengapa harus memotret absurditas? Mengapa harus mengabadikan perilaku menyimpang dan kotor? Siapa yang mau membayar untuk menonton kotoran atau perilaku kotor?
Apakah mereka begitu bodohnya menyangka bahwa perilaku buruk itu tidak akan menggejala dan ditiru hingga membudaya?

Fenomena hari ini:
- Data BKKBN: 1,6 juta melakukan aborsi. Penelitian lain mencatat: di Indonesia terjadi 2,5 juta aborsi setiap tahunnya, sebagiannya dilakukan oleh remaja (Pusat Informasi Keluarga Berkualitas).

- 1/3 remaja puteri di Wonosobo telah hamil di luar nikah (PKBI Wonosobo). Di Yogyakarta setiap bulan ada 30 anak kos yang hamil (PKBI Yogyakarta). Di Palembang tercatat 20% mahasiswi melakukan hubungan seks pranikah (PKBI Palembang). Di Surabaya, 6 dari 10 gadis tidak perawan lagi (Dra. Khofifah Indar Parawansa). Diperkirakan 20-15 persen remaja Indonesia pernah melakukan hubungan sebelum nikah (Dr. Boyke Dian Nugraha)

Fenomena hari ini:
- Data statistik menunjukkan, 8 - 10 juta populasi pria Indonesia pada suatu waktu terlibat pengalaman homoseksual (KCM)

- 42% remaja menyatakan pernah melakukan hubungan seks di luar nikah dan 52% di antaranya masih aktif (Survei Chandi Salmon Conrad di Rumah Gaul Binaan Yayasan Pelita Ilmu Blok M)

- 5,6% dari sekitar 8,7 juta remaja di Jabar telah melakukan seks bebas. Dinas Kesehatan Kota Bandung mencatat, dari 1058 kasus yang masuk Konseling Kesehatan Remaja 22,7% atau sekitar 240 remaja telah melakukan hubungan seksual di luar nikah. Sebagiannya sampai hamil (Harian Pikiran Rakyat)


Kita semua tahu bahwa bahaya terbesar berada di pinggir. Masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan rendah, dengan pola konsumsi inefektif, yang menjadi konsumen utama produk demikian. Dan mereka, dengan kebodohan dan keluguannya, bukan tidak mungkin dengan mudah menelan bulat-bulat perilaku yang mereka tonton itu, sebagai perilaku yang bisa ditiru. Atau karena terdorong oleh keingintahuannya, mereka kemudian mencoba-coba berbagai perilaku beresiko tinggi yang dicontohkan disana.

Bahkan saya rasa, pengamat budaya dan seni yang paling liberal sekalipun akan mengatakan hal yang sama, bahwa bila para sinemator itu bertujuan baik, perilaku yang tergambar dalam film-film tersebut seharusnya dibuat dalam bentuk dokumenter, untuk ditonton oleh para kritisi pendidikan, sosial dan pengamat budaya, sebagai bagian dari upaya pencarian solusi bagi masalah perilaku bebas yang menggejala pada 0.0 sekian persen dari populasi indonesia ini.

Dan bukannya dijadikan konsumsi publik dengan kebebasan menonton, dengan sensor gambar dan dialog yang rendah, dan dengan skenario yang memiliki bobot lebih berat pada pengabadian berbagai perilaku kotor tersebut dan dengan kadar nilai nasihat yang hanya 1-2% dari keseluruhan naskah.

Para produser dan insan sinema mengatakan bahwa ini adalah sebuah teguran bagi masyarakat yang terlalu naif. Kita jawab mereka : siapa yang naif? Tidak perlu dikatakan pun kita semua tahu dari fakta dan data, bahwa pada tahun 2010 nanti diramalkan jumlah penderita AIDS di Indonesia bisa mencapai 1 juta jiwa. Dan apa pangkal dan mula dari bencana besar yang mungkin akan terjadi pada bangsa kita ini bila kita tidak mencegahnya? Perilaku yang terlalu permisif. Perilaku serba boleh. Para sinemator jahat berpikiran busuk yang berharap remaja berusia delapan tahun mampu menahan gejolak hormon yang baru tumbuh dan mereka rasakan itu, bila menonton apa yang mereka sajikan.

Bayangkan bila film-film buatan sinemator busuk itu, ditonton bersama oleh sekelompok remaja lelaki dan perempuan, seusai sekolah, di sebuah bioskop? Apa yang akan mereka pikirkan, atau apa yang bisa muncul di pikiran mereka?
>>jawabannya sangat jelas dan membuat kita amat khawatir : mereka akan mencoba meniru apa yang baru mereka tonton<<

Kepada insan sinema di Indonesia;
Janganlah menuai bencana bila tak ingin memanen petaka,
Apa yang kalian lakukan dengan mengedepankan absurditas, memotret dan mengabadikan perilaku kotor dan mengedepankannya sebagai gaya hidup di kalangan remaja tertentu, hanya akan merusak remaja lain yang memiliki pola pikiran yang baik. Sekali lagi, bila ingin memberi nasihat pada orang tua yang terlalu sibuk, buatlah naskah mengenai hal itu. bukan tentang perilaku mencium atau berhubungan badan. Tidak ada orang tua yang bisa menangkap pesan apapun dari situ.

Kami tidak senaif itu menerima begitu saja alasan kalian yang mengatakan ingin mengemukakan atau membuka fakta yang terjadi di masyarakat.
Bila ingin membuka fakta, mengapa tak membuat film tentang korupsi? Mengapa tak membuat film tentang para remaja yang sibuk belajar mempersiapkan ujian? Itu juga fakta? Tapi mengapa yang dikemukakan hanya nilai hedonisme dari suatu produk?

Lihat betapa kita semua menyukai petualangan Sherina atau Pasir Berbisik. Tapi kita tidak menyukai adegan ciuman di film AADC, dan kita juga serempak bersorak saat film BCG ditarik dari peredaran.

Siapa penjahatnya?

Penjahatnya adalah para pemilik ide gila dan busuk yang berpikir bahwa ia bisa dan harus menghidangkan perilaku kotor nan abnormal dari sebagian kecil masyarakat anomie yang terpencil dari norma sosial, sebagai hidangan umum di setiap mata orang tua dan remaja yang sehat, normal dan produktif, dengan harapan mereka sama sekali tidak teracuni.

Bila kita pernah membuat daftar politisi busuk dan hitam, memangnya kita tidak bisa apa membuat daftar sinemator busuk dan hitam? Sangat mudah malah. Dan pencekalan juga bisa dilakukan dengan sangat mudah. Siapapun sponsor dan pemasang iklan tak akan mau nama produknya tercoreng.

sedikit edit. ada input data dari kutipan yang terlalu vulgar.

Sinema dan Budaya

Kita tahu bahwa saat ini industri sinema di negeri kita tengah bangkit setelah sebelumnya terpuruk. Banyak film baru yang diproduksi dan dibuat dengan berbagai tema yang berbeda. Kita tidak ingin mengharamkan sinema. Yang menjadi masalah adalah bila sinemator kita mengangkat sisi buruk kehidupan bangsa yang sebenarnya ingin kita sembuhkan dan perbaiki. Yang kita inginkan adalah sebagai satu bangsa, kita mengupayakan suatu perbaikan budaya, dan bukan malah merusaknya, melalui sinema itu tadi. Ini sama sekali bukan pembatasan kreatifitas. Tapi ini adalah sebuah sarana kerjasama membangun budaya bangsa.

Ada karya yang terpuji, dan ada karya yang patut dicela. Relativitas cara penyikapan dan relativitas penilaian terhadap mutu suatu film adalah suatu hal yang pasti. Yang menjadi masalah adalah bila masyarakat terlalu permisif, apatis dan naif, hingga membiarkan satu karya buruk yang bisa merusak budaya, tersebar begitu saja dan ‘menjahati’ banyak warga masyarakat.

Seperti kita tahu, kebanyakan unsur ‘hiburan’ dalam dunia kapitalis ini terdiri dari gado-gado unsur berbagai kejahatan budaya. Ada kekerasan, kriminalitas, pornografi dan pornoaksi, penampilan glamour, dan lain-lain kejahatan terhadap nilai diri dan nilai sosial dalam satu masyarakat.

Mengapa dikatakan demikian? Semua yang menonton produksi sinema adalah manusia. Kita tahu bahwa apa yang kita lihat, tonton, dan dengar, sangat mempengaruhi diri kita. Dan kita tahu bahwa setiap kali berbagai input kognisi masuk dalam kepala seorang manusia, hal itu akan berpengaruh pada diri mereka.

Semua yang mereka tonton dan saksikan itu berhubungan dengan hal seperti gaya hidup, cara berperilaku, cara orang menilai suatu perbuatan. Banyak dari mereka yang saat menonton, akan melihat ke dalam diri mereka, untuk kemudian melakukan penilaian diri. Bila ada dari penilaian diri akibat atribusi yang terbentuk secara sosial melalui sinema yang mereka saksikan itu, bernilai negatif, maka akan secara langsung, hal ini mempengaruhi diri mereka.

Alasan mengapa sinema memberikan pengaruh yang cukup membekas adalah juga disebabkan oleh adanya banyak publikasi dan eksploitasi berita terhadap sinema dan hiburan. Pergeseran antara ‘penting’ dan ‘tidak penting’ kemudian makin nyata. Masyarakat, menjadikan ‘tontonan’ sebagai ‘tuntunan’.

Hal ini seharusnya membuat insan sinema sadar akan tanggungjawabnya. Dan sadar bahwa dengan film-film yag dibuatnya, ia bisa mempengaruhi budaya dan watak suatu bangsa. Atau bahkan, seluruh dunia bila film tersebut laju mengglobal. Bahwa seperti keputusan seorang politisi yang bisa mempengaruhi laju satu negeri, tindakan seorang sinemator juga akan mempengaruhi laju budaya satu bangsa.

Pergeseran nilai budaya akan baik, bila berjalan ke arah yang baik. Tapi, bagaimana bila pergeseran budaya ini, justru mengarahkan bangsa kita pada kehancuran moral? Pada kehancuran nilai diri dan kehancuran nilai sosial yang tinggi? Kita tidak ingin melihat kehancuran semacam ini, hanya karena satu dua karya sinema tidak layak sebar, yang membekas dan melukai nilai diri dan nilai budaya masyarakat kita ini. Kita ingin masyarakat kita tetap dalam personal state of being yang nyaman, yang memungkinkan setiap potensi yang ada dalam diri mereka untuk berkembang, dan bukan malah merepresi potensi tersebut atau mengarahkannya pada ketergelinciran menyeluruh.

Sejumlah insan sinema yang masih baik, memproduksi banyak tayangan sinema yang menarik, yang memiliki nilai edukasi yang tinggi. Berbeda dengan sejumlah rekan mereka, yang melakukan hal sebaliknya. Sejumlah insan sinema ini malah memotret besar-besar kesalahan dan ketergelinciran perilaku yang hanya terjadi pada segelintir orang di Indonesia ini, menjadi sangat besar, menjadi suatu pusat perhatian.

Bahaya dari pengabadian ‘kesalahan perilaku’ segelintir orang di dalam masyarakat kita ini adalah pada resiko peniruan yang bisa timbul. Dan kita tidak bisa secara naif mengatakan bahwa resiko semacam ini tidak ada. Justru resiko semacam ini sangat besar.

Dan resiko inilah yang menjadi alasan mengapa kita sangat keberatan dengan film yang mengajak masyarakat, yang berbau provokasi seksual, seperti film "Buruan Cium Gue", dan "Virgin". Film yang disebut pertama, sudah ditarik dari peredaran. Film yang menunggu ditarik berikutnya adalah yang kedua. Karena sudah banyak di kota-kota besar di Indonesia pelarangannya.

Permasalahannya adalah, apa yang menjadi Fokus kerja Lembaga Sensor Film? mengapa film yang jelas-jelas memuat provokasi seksual semacam itu, bisa lolos dari sensor?